Definisi merdeka setiap manusia itu berbeda. Sebagian mendefinisikan merdeka ketika kita dapat membelanjakan keinginan tanpa harus memikirkan berapa banyak uang yang berkurang. Sederhananya, merdeka dari belenggu ekonomi. Sebagian yang lainnya mendefinisikan merdeka sebagai perasaan bebas dalam melakukan sesuatu yang disukai tanpa merasa ada beban yang mengikat. Sederhananya, merdeka dari kecemasan yang berlebihan. Namun, menjadi merdeka bukan berarti membebaskan segala sesuatu seperti yang dilakukan binatang, bukan?
Era
digital pada hari ini pun telah memberikan banyak sekali kemudahan-kemudahan.
Perkembangan teknologi yang tiada henti terus menciptakan hal-hal baru yang
menarik pandangan mata. Segala sesuatu yang tadinya tertutup dan hanya dapat
dilihat apabila mengenakan kaca mata khusus, kini sesuatu itu dapat dilihat
dengan mata telanjang. Seluruhnya terbuka begitu luas, memuaskan mata yang
terus lapar dengan kebaruan. Kita menemukan fakta betapa mudahnya mata jatuh
cinta terhadap keindahan yang dilihatnya.
Sementara
itu, alasan mengapa manusia selalu merasa sesak dan terkekang adalah karena
tidak mampu berhenti mengkhawatirkan masa depan. Bahkan terkadang kita
menghardik takdir yang tidak sejalan dengan apa yang diekspektasikan. Terlebih
ketika melihat saudara kita yang memperoleh kebahagiaan, kita merasa seolah Dia
memerdekakan keinginan saudara kita dan bukan kita. Padahal kita sudah menunggu
cukup lama, berusaha cukup payah, hingga beribadah tanpa mengenal lelah. Hanya
agar Dia memperhatikan kita.
Sungguh
bahaya sifat lupa manusia yang secara tidak sadar melenakan kita dalam
meragukan keberadaanNya. Lupa, bahwa tanpa kita minta pun, Dia sudah sedang
memperhatikan kita dan sedang mendengar apa yang kita bisikkan dalam hati.
Lupa, bahwa skenario yang dibuatNya dengan jangkau pandang yang amat luas itu
jauh lebih indah dari pada pemikiran kita yang sangat terbatas.
Kemerdekaan
diri yang banyak kita definisikan tidaklah ada setengah dari definisi merdeka
dariNya. Saat kita khilaf, definisi merdeka hanyalah tentang bagaimana kita
dapat senantiasa memenuhi naluri-naluri yang menggeliat dalam diri. Tentang
bagaimana kita memperoleh kebahagiaan yang instan. Lagi-lagi terlupa bahwa
segala sesuatu yang diperoleh secara instan tidaklah dapat dirasakan hingga
lubuk hati paling dalam. Cepat atau lambat, kebahagiaan yang kita peroleh
secara instan akan segera berubah menjadi parasit yang menggerogoti ketenangan
jiwa.
Syukurlah,
manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk hidup lainnya.
Saat lahir ke dunia, manusia telah membawa perbekalan berupa akal yang akan
menyeimbangkan bagaimana naluri bekerja. Melalui akal, maka menjadi mudah
perjalanan panjang manusia dalam menemukan makna merdeka yang sebenarnya. Di
antara jalan yang ditempuh dalam mecari jawaban ini, terdapat jalan yang
apabila memasukinya kita akan dihadapkan oleh beberapa pertanyaan saat tiba di
portalnya: dari mana, untuk apa, dan akan
kemana setelah semuanya selesai.
Ketika
kita mampu menyelesaikan pertanyaan tersebut, maka dapatlah kita masuk
menyusuri jalanannya. Kemerdekaan yang kita nantikan pun dapat ditelisik di
dalamnya. Terlebih sebagai seorang muslimah yang disampaikan merupakan tonggak
peradaban sebuah zaman. Apabila hancur seorang perempuannya, maka hancurlah
peradabannya. Sebaliknya apabila kokoh keimanan yang dimiliki seorang
perempuan, maka tegaklah peradabannya. Sebagaimana yang kita ketahui pula bahwa
KekasihNya pernah berpesan bahwa perempuan adalah sumber fitnah (bagi
laki-laki). Betapa Islam telah mengetahui kebenaran yang akan terjadi. Maka
dari itu, pantaslah Islam telah mempersiapkan banyak hal yang mengatur agar
tidak terjadi kerusakan.
Betapa dimuliakannya seorang perempuan dalam Islam, memiliki harkat dan martabat yang dijaga dan dijunjung begitu tinggi. Sebab perempuan adalah pemegang kunci peradaban. Namun meski begitu seorang juara tidaklah bebas dari pembenci. Tidak sedikit yang menggugat keadilan bagi kaum perempuan dalam islam. Mereka mengatakan bahwa perempuan tidak diberikan kesempatan untuk merdeka. Padahal, definisi merdeka dalam kamus mereka dan kamus kita tidaklah sama. Mereka mendefinisikan merdeka sebagai pemenuhan syahwat dan kesenangan duniawi yang tidak dibatasi. Tidak seorang pun berhak mengatur pribadi mereka, bahkan yang menciptakan mereka sekalipun. Mereka mendefinisikannya sebagai kebebasan dalam mengekspresikan hawa nafsunya. Mengingkari fakta bahwa ekspresi naluri yang berlebihan tanpa diimbangi akal sehat malah akan menghancurkan diri mereka sendiri.
Demikian dengan sengaja mereka menutup pandangan bahwa perempuan dalam Islam sebenarnya justru merasa telah menemukan esensi dari kemerdekaan diri: merdeka dari pandangan syahwat, merdeka dari pandangan iri dan dengki, dan merdeka dari hasrat memenuhi kesenangan duniawi. Sebab hijab yang dituduh sebagai penghalang, sejatinya adalah pelindung dari segala kerusakan. Maka jadilah merdeka yang sebenarnya, bukan merdeka yang dibalut dengan kepentingan kesenangan yang sementara.